Wednesday, March 19, 2014

ASAS DAN YURISDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK

            Segala peraturan perundang – undangan di perpajakan berlandaskan berdasarkan pancasila karena pancasila merupakan hukum dasar nasional. Pancasila sebagai penguji ataupun tolak ukur dalam setiap undang – undang pajak. Dalam pasal 23A UUD 1945 berbunyi “pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang – undang” dapat disimpulkan bahwa pajak dan pungutan telah dilegalkan oleh Negara untuk memberikan kewenangan terhadap Negara untuk memungutnya, dengan syarat harus berdasarkan undang – undang. Oleh karena itu pajak maupun pungutan dapat berjalan dengan adanya persetujuan dari rakyat yang diwakili oleh DPR atau dapat disebutkan sebagai “No Taxation Without Representation”
            Terdapat beberapa asas yang berhubungan dengan hak Negara dalam memungut pajak, yaitu :
v  Teori Asuransi
Negara telah melindungi masyarakat ( seseorang ), dan sudah sepatutnya masyarakat memberikan timbal balik ( premi ) kepada Negara. Meskipun tidak semua masyarakat merasakannya karena pajak tidak memiliki balas jasa secara langsung.
v  Teori Kepentingan
Negara yang melindungi kepentingan warga Negara dengan memperhatikan beban pajak yang diterima setiap warga Negara untuk memenuhi biaya atau pengeluaran negara.
v  Teori Gaya Pikul
Setiap warga Negara memperoleh beban pajak yang sama, jadi setiap warga akan merasakan beban atau berat yang sama. Jadi semakin besar penghasilan semakin besar pula pajak yang yang dikeluarkan.
v  Teori Gaya Beli
Dapat disamakan seperti pompa yaitu dari gaya beli masyarakat untuk gaya beli Negara dan kemudian disalurkan kembali ke masyarakat. Teori ini dapat juga disamakan dengan fungsi pajak sebagai pengatur ( regulerent )
v  Teori Bakti
Teori ini berbeda dengan teori asuransi, teori ini berdasarkn paham – paham organische staatler yang mengajarkan bahwa sifat Negara sebagai organisasi ( perkumpulan ) dari individu maka akan timbul hak mutlak Negara untuk memungut pajak
            Dalam melakukan pemungutan Negara juga memiliki batasan kewenangan yang dapat dilakukan agar pemungutannya tidak menjadi berulang – ulang yang bisa memberatkan orang dikenakan pajak yang  biasa disebut yurisdiksi. Yurisdiksi pemungutan pajak antara lain sebagai berikut
Ø  Berdasarkan Asas Sumber
Yaitu apabila obyek pajak tersebut berasal dari Indonesia maka Indonesia berwenang untuk memungut pajak subyek pajak pemiliknya.
Ø  Berdasarkan Asas Kewarganegaraan
Yaitu Negara berwenang memungut pajak kepada setiap warga Negara meskipun warga Negara tersebut tidak berkedudukan atau tinggal didalam negeri asalkan masih menjadi warga Negara tersebut.
Ø  Berdasarkan Asas Tempat Tinggal
Yaitu siapapun maupun badan yang berkedudukan atau bertempat tinggal dalam Negara tersebut, maka Negara berkewenangan memungut pajak atas yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkanya.
            Berdasarkan ketiga yuridiksi tersebut suatu Negara dapat memungut pajak kepada siapapun yang termasuk kedalamnya oleh karena itu diperlukan peraturan tambahan supaya wajib pajak tersebut tidak terkena pajak berganda yang memberatkan apabila wajib pajak terkena pajak dari Negara Indonesia dengan pajak yang kena diluar negeri. Peraturan tambahan yaitu perjanjian penghindaran pajak berganda yang biasanya berisi mengenai beberapa hal sebagai berikut :
1.    Ketentuan tentang hal – hal yang menjadi ruang lingkup dari suatu tax treaty yang terdiri atas
a.    Jenis – jenis pajak yang diatur dalam tax treaty
b.    Subyek pajak yang dapat memanfaatkan tax treaty
2.    Ketentuan yang mengatur definisi dari istilah yang ada dalam tax treaty
3.    Ketentuan yang mengatur tentang hak pemajakan suatu Negara atas suatu jenis penghasilan
4.    Ketentuan yang mengatur tentang pemberian fasilitas eliminasi atau keringanan pajak berganda
5.    Ketentuan yang mengatur tentang pencegahan upaya penghindaran pajak yang terdiri atas :
a.    Ketentuan tentang hubungan istimewa
b.    Ketentuan tentang kerjasama antar otoritas perpajakan
c.    Ketentuan tentang pertukaran informasi
6.    Ketentuan lainnya seperti ketentuan tentang non-diskriminasi, diplomat, territorial ekstensi dan bantuan untuk melakukan pemungutan pajak.
7.    Ketentuan tentang saat dimulai dan berakhirnya suatu tax treaty
Sumber :
Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Berdasarkan OECD MODEL Tax Treaty, viewed 2 January 2013, < http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=35>

Zulvina, Susi 2011, Bahan Ajar Penghantar Hukum Pajak, Jakarta.


Tuesday, March 18, 2014

Hambatan Penagihan

Permasalahan

Penyitaan terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan di Bank. Dalam hal ini, penyitaan hanya bisa dilaksanakan setelah melakukan pemblokiran. Sedangkan pemblokiran bank itu sendiri memiliki syarat – syarat tertentu agar dapat melakukan pemblokiran tersebut.

Pembahasan

Dasar Teori

Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penangung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku. Penyitaan tersebut dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun barang tidak bergerak.
Yang Termasuk barang bergerak meliputi mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, giro, obligasi, saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Yang termasuk barang tidak bergerak meliputi tanah, bangunan, bangunan, dan kapal yang bobotnya 20  atau lebih.
Dalam hal ini yang saya bahas termasuk dalam barang bergerak karena kekayaan Penangung Pajak yang disimpan dalam bank adalah berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
Untuk Proses Penyitaan Kekayaan Penangung Pajak yang disimpan dalam bank memiliki Dasar – Dasar Hukum sebagai berikut:
1.    Undang – Undang 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
2.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 135 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
3.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 563/Kmk.04/2000 tentang Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
4.    Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor Se - 108/Pj/2009 Tentang Pelaksanaan Pemblokiran Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Milik Penanggung Pajak Yang Namanya Tidak  Tercantum Dalam Surat Paksa
Sebelum masuk kedalam proses penyitaan kita juga harus memahami tentang istilah - istilah yang akan digunakan yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 1997 Pasal (1) dan untuk lebih spesifik dalam kegiatan penyitaan Kekayaan Penangung Pajak di Bank diatur dalam Keputusan Kementrian Keuangan Republik Indonesia Nomor 563/KMK.04/2000 Pasal (1). Selain itu beberapa pihak fiskus yang berhubungan dengan proses penyitaan dan kewenangannya diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 1997 Pasal (2) untuk Pejabat, Pasal (3), (4), (5), dan (6) untuk Juru Sita. Untuk penjelasan lengkapnya dapat dilihat dan dibaca pada peraturan tersebut.
Penyitaan itu sendiri baru bisa dilaksanakan apabila selama 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah surat paksa diberitahukan( diatur dalam UU – 19 Tahun 1997) dan dilakukan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan yang diterbitkan oleh pejabat ( diatur dalam Peraturan Pemerintah No 135 Tahun 2000 ), sedangkan untuk penyitaan terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan di Bank dilaksanakan sedikit berbeda dengan yang lain yaitu melalui pemblokiran terlebih dahulu dengan urutan pelaksanaan sebagai berikut ( diatur dalam Peraturan Pemerintah No 135 Tahun 2000 pasal 5 ayat 3 ) :
a)    Pejabat mengajukan permintaan Pemblokiran kepada bank disertai dengan penyampaian Salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
b)    Bank wajib memblokir seketika setelah menerima permintaan Pemblokiran dari Pejabat dan membuat berita acara Pemblokiran serta menyampaikan salinannya kepada Pejabat dan Penanggung Pajak.
c)    Jurusita Pajak setelah menerima berita acara Pemblokiran dari bank memerintahkan Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak.
d)    Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Pejabat meminta Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank untuk memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank yang dimaksud.
e)    setelah saldo kekayaan yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan dan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan bank yang bersangkutan.
f)     Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi Utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
g)    Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pemblokiran terhadap kekayaan Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak sekalipun telah dilakukan Pemblokiran.
Proses Pemblokiran dan Penyitaan yang dimaksud diperjelas kembali dengan  Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 563/Kmk.04/2000. Untuk pemblokiran dalam pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu”, dimana dilakukan sebelum melakukan penyitaan dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “Dalam melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak berwenang melaksanakan penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank.”. Melalui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 563/Kmk.04/2000 pasal 3 dijelaskan kembali secara jelas proses pemblokiran adalah sebagai berikut :
1.    Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan oleh Pejabat kepada pimpinan bank tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai dengan salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
2.    Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Pejabat.
3.    Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang tindasannya disampaikan kepada Penanggung Pajak dan Pejabat yang meminta pemblokiran.
4.    Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
Setelah melakukan pemblokiran terhadap kekayaan Penangung Pajak di Bank maka dapat dilakukan penyitaan sebagaimana proses melakukan penyitaan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 563/Kmk.04/2000 pasal 4 adalah sebagai berikut :
1.   Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilaksanakan sebagai berikut:
a)    Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak;
b)    dalam hal Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Pejabat meminta Gubernur Bank Indonesia melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud kepada Pejabat;
c)    setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan;
d)    Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan ditandatangani oleh Jurusita Pajak, saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk;
e)    Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan.
2.   Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank, setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
3.   Dalam hal jumlah yang diblokir lebih besar dari jumlah yang disita, maka atas sisa lebih tersebut diajukan permintaan pencabutan pemblokiran oleh Pejabat kepada bank.
Setelah fiskus melakukan penyitaan terhadap dalam kekayaan wajib pajak dibank tersebut. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Penangung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, maka fiskus dapat melakukan pemindahan buku harta kekayaan dari yang tersimpan di bank kepada kas Negara atau kas daerah sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan. Selain itu sebelum jangka waktu berakhir Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada fiskus untuk mengunakan barang sitaan yang dimaksud untuk melunasi biaya penagihan pajak dan hutang pajak.
            Seringkali dalam pelaksanaan atas nama dalam bank tidak sama dengan pemilik dari badan atau wajib pajak yang tercantum. Sebabnya fiskus seringkali kesulitan melacak kepemilikan atau yang bisa disita oleh fiskus. Karena dalam penyitaan dapat dilakukan kepada terhadap untuk WPOP adalah atas barang milik pribadi yang bersangkutan, istri, anak yang masih dalam tanggungan kecuali dikehendaki secara tertulis oleh suami atau istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dan untuk BADAN adalah atas barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik ditempat yang bersangkutan maupun ditempat yang lain. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 pasal (3) ayat 2 dan 3.
            Selain itu untuk penyitaan dan pemblokiran terhadap kekayaan tetap dapat dilangsungkan meskipun terjadi perbedaan nama atas yang dicantumkan dalam surat paksa dengan syarat masih sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 pasal (3) ayat 2 dan 3 karena masih bisa dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada tersebut. Dengan ketentuan yang telah diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 108/PJ/2009 maka fiskus dapat melakukan pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan Penangung Pajak meskipun nama yang tercantum berbeda dengan yang ada disurat paksa. Tata cara untuk melakukannnya diatur dalam surat edaran tersebut pada 6.d berisi sebagai berikut :
“Oleh karena pemblokiran dalam rangka penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dilaksanakan oleh pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk, atas permintaan dari Pejabat (Kepala Kantor Pelayanan Pajak), maka dalam hal pemblokiran dalam rangka penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank milik Penanggung Pajak yang namanya tidak tercantum dalam Surat Paksa, Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menyampaikan permintaan pemblokiran kepada pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk disertai salinan Surat Paksa (SP) dan:
1)    Salinan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) yang mencantumkan nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak; serta
2)    Surat Keterangan yang memuat penjelasan kedudukan Penanggung Pajak pada Wajib Pajak, dengan dilampiri dokumen pendukung yang menunjukkan kedudukan Penanggung Pajak pada Wajib Pajak, antara lain berupa fotokopi akta pendirian perusahaan dan atau akta perubahan kepengurusan untuk Wajib Pajak Badan dan Kartu Keluarga untuk Wajib Pajak Orang pribadi (format terlampir)”

Simpulan

Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam penyitaan terhadap Kekayaan Penangung Pajak di bank diperbolehkan sesuai dengan undang – undang dan diperjelas oleh Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan. Selain itu hal ini dilakukan demi terbayarnya biaya penagihan dan utang pajak karena wajib pajak telah mengabaikan surat paksa yang telah diberitahukan terhadap wajib pajak dimana tentang jangka waktu pelaksanaan dan tata cara pelaksanaan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan. Dalam pelaksanaan penyitaan tidak bisa dilakukan sembarang pegawai pajak. Dimana pegawai yang berwenang dan berhubungan dengan penyitaan adalah Penjabat dan Jurusita dimana telah dijelaskan dalam Peraturan.
Proses penyitaan juga tidak dapat secara langsung melainkan harus melalui pemblokiran terlebih dahulu, dengan syarat meminta ijin terhadap Penangung Pajak atau Bank Indonesia ( Apabila Penangung Pajak Tidak memberikan ijin ) untuk mengetahui saldo dalam bank tersebut dimana nantinya akan dihitung untuk dilakukan penyitaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah dan Kementrian Keuangan. Setelah itu
Dalam selama proses Penyitaan berlangsung Penangung Pajak dapat membayar seluruh utang pajak dan biaya penagihan, dsb melalui pembayaran langsung maupun mengunakan Kekayaan Penangung Pajak yang disita tersebut sebagai pelunasan pajak tersebut. Apabila selama proses Penyitaan berlangsung

Sumber


Zulvina, Susi 2011, Bahan Ajar Penghantar Hukum Pajak, Jakarta.